Rabu, 13 Februari 2013

Kajian Teoritis Perbankan Syariah


Oleh : Marsudi (Dosen Pascasarjana Magister Ekonomi Islam Azzahra)

Sistem ekonomi Syariah, atau adakalanya disebut “ekonomi Islam”, semakin populer bukan hanya di negara-negara Islam tapi bahkan juga di negara-negara barat. Ini ditandai dengan makin banyaknya beroperasi bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam perekonomian bisa diterima di berbagai kalangan, karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif.
Dasar-dasar ekonomi Syariah sudah ada sejak lama, yaitu sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang menerapkan etika dalam berdagang, lebih dari itu sesungguhnya jika kita baca alquran bahwa ilmu ekonomi sudah mulai ada semenjak nabi Adam AS, terlihat dalam Al-quran (al-baqarah, 30-31 dan 36 ) bahwa Allah telah mengajarkan seluruh jenis ilmu pengetahuan termasuk ilmu ekonomi ( Suma, 2008 ).Perkembangannya terhenti karena menguatnya kelompok sosialis dan kapitalis di Eropa. Pemikiran untuk menerapkan sistem perekonomian yang Islami muncul kembali sebagai konsep alternatif, ketika kedua sistem tersebut ternyata tidak memuaskan.
Banyak kalangan melihat Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai faktor penghambat pembangunan. Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi (Antonio, 2001).
Ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi yang melanda Asia khususnya Indonesia, adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas salah total bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem yang kita anut selama ini. Hal ini terlihat dari kenyataan sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian besar lainnya harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilliun rupiah dari uang negara. Sekaranglah momentum yang tepat untuk membuktikan bahwa muamalah syariah dengan filosofi utama “kemitraan” dan “kebersamaan” (sharing) dalam profit dan risk dapat mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan.
2.1. Perkembangan dan Permasalahan Perbankan Syariah di Indonesia
2.1.1. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Syariah di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan antar bangsa dalam suasana yang damai dan tidak bergejolak. Pendekatan perniagaan yang digunakan oleh para da’i yang juga merupakan pedagang ternyata sangat cocok dengan kondisi sosio-kultural saat itu. Islam dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang dengan cepat hampir di seluruh pesisir utama Nusantara. Lalu kemudian, munculah kerajaan-kerajaan Islam yang juga melakukan perdagangan dengan luar. Hubungan dagang tersebut terutama dengan kerajaan Islam sangat kuat dan dilandasi bukan saja oleh semangat perniagaan melainkan juga oleh roh ukhuwah Islamiyah. Masuknya Islam ke Indonesia bersamaan dengan melemahnya kekuatan dunia Islam di hampir seluruh bidang kehidupan dan bangkitnya kembali dunia Barat. Akibatnya, perkembangan Islam di Indonesia tidak dapat tumbuh dengan sehat dan cepat.
Dalam keadaan demikian, penjajah Barat datang untuk menguasai. Dampaknya adalah, dalam kurun waktu 3,5 abad, pertumbuhan Islam mengalami stagnansi, kemandegan, bahkan keterbelakangan. Dalam masa itu, umat Islam tidak memiliki banyak peluang untuk maju. Babak baru yang penting baru diperoleh pada awal abad ke dua puluh, dengan berdirinya Syarikat Islam (SI) pada tahun 1906. Kebangkitan ekonomi umat Islam di Indonesia ini bersamaan pula dengan kebangkitan umat Islam secara global.
Jika dicermati, terdapat beberapa perbedaan wacana antara perkembangan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia dengan berbagai belahan dunia Islam lainnya, terutama di Timur Tengah (Basri, 2000). Selama paruh pertama abad dua puluh para ulama dan tokoh masyarakat Islam di Indonesia lebih memikirkan nasib ekonomi umat Islam yang sejak dulu selalu dipinggirkan oleh penjajah Belanda, karena itu kurang memikirkan dan menggali sistem ekonomi Islam tersendiri yang rohnya diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Sikap kompromi dan akomodatif terhadap sistem keuangan dan finansial konvensional pada masa itu, sangat berbeda dengan perkembangan wacana di dunia Islam lainnya. Menurut Khursid Ahmad (dalam Basri, 2000), yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiranekonomi IslamTahapan Pertama, dimulai pada pertengahan dekade 19930-an ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Para ulama berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Para ulama saat itu mengundang para ekonom dan bankir untuk mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip syariah dan bukan bunga. Hal yang menonjol dalam pendekatan ini adalah adanya keyakinan yang begitu kuat akan haramnya bunga dan pengajuan alternatif.
Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahap ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Analisis ekonomi terhadap larangan riba dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga telah dilakukan. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam diadakan. Konferensi internasional pertama tentangekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976.
Tahapan ketiga ditandai dengan adanya upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, bankir, para pengusaha dan hartawan Muslim yang memiliki kepedulian pada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahap ini sudah didirikan bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang jelas dan pemahaman yang lebih mapan.
Bank yang pertama didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia dan merupakan kerjasama antara negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kini ekonomi Islam memasuki tahap keempat yang ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat. Selama kurun waktu 6 tahun sejak tahun 1992 hingga 1998 hanya ada satu bank Islam di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Disahkannya Undangundang Perbankan No. 10 tahun 1998 telah memberikan landasan yang cukup luas bagi berdirinyaperbankan syariah di Indonesia, sehingga dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun telah bermunculan beberapa bank syariah.
Kedudukan perbankan syariah pada kenyataannya masih berkonsentrasi pada masyarakat perkotaan dan lebih melayani usahan menengah ke atas. Sementara mayoritas kaum Muslim berada di pedesaan dan memiliki usaha yang relatif kecil dan terbatas, karena cikal bakal organisasi Islam di Indonesiapun mayoritas didirikan tidak di ibu kota seperti Muhammadiyah di Yogyakarta(133M/1912H), Nahdlatul Ulama di Surabaya( 1926) Ikatan Cendekiawan Muslim pun didirikan di Universitas Barawijaya Malang (1991) ( Suma 2008). Untuk itu sekalipun sudah banyak berdiri bank Islam di tanah air, namun kaum Muslim di pedesaan tetap saja belum mendapatkan akses yang optimal kepada sistem perbankan syariah. Untuk itu dikembangkanlah lembaga keuangan syariah yaitu Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal Wattamwil (BMT) yang dapat berinteraksi dengan umat di pedesaan dengan kemudahan dalam pemberian pembiayaan usaha kecil dan mikro. Lembaga inilah yang mewarnai keunikan dari perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia dibandingkan dengan yang berkembang di negara Islam lainnya.
2.1.2. Perkembangan Praktek Perbankan Syariah di Indonesia
Menurut Harisman (dalam Hamidi, 2003), sistem perekonomian yang sesuai dengan prinsip syariah telah melembaga sejak lama, terlihat dari praktek sistem bagi hasil pada usaha pertanian. Demikian pula halnya pada usaha penangkapan perikanan laut. Prinsip menanggung risiko dan membagi keuntungan secara berkeadilan yang melandasinya merupakan hakekat dari sistem ekonomi syariah.
Salah satu bentuk lain pola pembiayaan yang menggunakan prinsip syariah adalah pembiayaan modal ventura, yang sempat menjadi program nasional, misalnya dengan keberadaan Bahana Artha Ventura dan Perusahaan Modal Ventura Daerah di tiap propinsi (Yasni, 2000). Tiga instrumen pembiayaan yang dikembangkan adalah saham, obligasi konversi dan bagi hasil. Perjalanan ketiga instrumen tersebut telah mengalami pasang surut yang sangat signifikan sesuai dengan pasang surut perekonomian Indonesia.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah menjadikan instrumen pembiayaan saham dan obligasi konversi menjadi kurang diminati oleh modal ventura Indonesia karena pengaruh negatif langsung yang besar terhadap modal ventura Indonesia sehubungan dengan jatuh ruginya entitas-entitas usaha yang dibiayai dengan instrumen pembiayaan tersebut, serta gagalnya exit alternatif melalui Initial Public Offering atas entitas usaha tersebut sebelum perekonomian Indonesia memburuk. Untuk bereaksi terhadap kerugian historis dan potensial yang diderita, maka modal ventura Indonesia menyiasati dengan memberlakukan pola bagi hasil tetap ataupun pola bagi hasil minimum yang mengadopsi pola perbankan konvensional (flat rate dan effective rate) dengan penetapan tingkat bunga tertentu ataupun minimum atas outstanding pembiayaan yang diberikan kepada entitas usaha yang dibiayai dengan pola bagi hasil. Reaksi ini telah membawa modal ventura Indonesia jauh dari semangat modal ventura yang sesungguhnya. Semangat modal ventura yang sesungguhnya sendiri sangat dekat dengan apa yang disebut pembiayaan syariah.
Dari sekian banyak kombinasi pembiayaan syariah, ada beberapa contoh instrumen pembiayaan syariah yang sangat applicable dengan semangat modal ventura yang sesungguhnya dengan masih mengaitkan ketiga instrumen pembiayaan modal ventura Indonesia yang ada sekarang. Instrumen pembiayaan syariah tersebut antara lain adalah musyarakah untuk pendirian usaha atau proyek yang dapat disejajarkan dengan instrumen pembiayaan saham. Keuntungan atau kerugian kontrak proyek dinikmati atau ditanggung bersama sesuai porsi modal atau profit-loss sharing yang ditetapkan dalam kesepakatan awal.
Sementara itu, prinsip mudharabah dapat disejajarkan dengan instrumen pembiayaan obligasi (quasi equity)seperti obligasi konversi. Menurut Cagarata (2000), produk pembiayaan syariah telah membawa kemajuan di Indonesia. Datangnya krisis di Asia yang menyebabkan naiknya suku bunga secara tajam di Indonesia, mempengaruhi kemunduran satu per satu perusahaan. Namun, ditemukan beberapa perusahaan yang tetap bertahan bahkan semakin berkembang karena bekerjasama dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Ekonomi syariah mulai dikenal melalui aktifitas perbankan, yaitu dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1991. Beberapa tahun belakangan ini, apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, maka bank berbasis Syariah mulai bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya. Namun demikian, secara umum perekonomian Syariah masih dianggap sebelah mata sebagai salah satu sistem perekonomian yang seharusnya bisa menjadi salah satu alternatif untuk keluar dari krisis ekonomi yang masih melilit bangsa ini.
Landasan hukum, yang menjadi titik tolak perkembangan bank syariah di Indonesia adalah UU No 7 Tahun 1992, tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut prinsip syariah sudah dinyatakan, meskipun masih samar, yang dinyatakan sebagai prinsip bagi hasil. Prinsip perbankan syariah secara tegas dinyatakan dalam UU No 10 Tahun 1998, yang kemudian diperbaharuhi dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No 3 tahun 2004. Undang-undang ini memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversikan diri menjadi bank syariah.
Perkembangan kinerja bank syariah meningkat cukup pesat, yang mengindikasikan adanya respon postif dari masyarakat untuk mengadopsi produk bank syariah. Sampai dengan bulan Mei 2004, perkembangan jumlah kantor bank syariah telah mencapai 353 kantor bank, dengan nilai asset sebesar 11.6 trilyun rupiah. Jumlah pembiayaan yang disalurkan mencapai 7.56 trilyun rupiah dan dana pihak ketiga sebesar 7.77 trilyun rupiah.
Meskipun dari pertumbuhan usaha dan jumlah cukup banyak, tetapi peranan secara nasional masih kecil dibandingkan dengan peranan bank secara nasional, yaitu sebesar satu persen. Di tingkat dunia, kelahirannya bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern yaitu “neorevivalis” dan “modernis”. Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir ( Suma 2008).
Berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada awal periode 1980-an bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki. Secara garis besar lembaga tersebut dapat dibagi dua kategori: bank Islam komersial, dan lembaga investasi dalam bentuk international holding companies.
Di Pakistan, perkembangan bank syariah tahun 1979 adalah dengan menghapus sistem bunga dari operasional tiga institusi, yaitu: National Investment, House Building Finance Co, dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan. Pada tahun 1985 seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem perbankan syariah. Sedangkan di Mesir bank syariah pertama yang didirikan adalah Faisal Islamic Bank pada tahun 1978, kemudian diikuti Islamic International Bank for Investment and Development. Bank ini beroperasi sebagai bank investasi, bank perdagangan, maupun bank komersial. Sementara di Malaysia, Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang didirikan tahun 1983 merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara.
2.2. Tinjauan Teoritis Paradigma dan Sistem Operasional Bank Syariah
2.2.1. Islam Sebagai Suatu Sistem Hidup
Kitab suci Al-Qor’an amat jelas mempermaklumkan bahwa Islam adalah agama yang mendapat perkenan Tuhan, Allah SWT. Hal ini antara lain dapat dipahami dari firman-Nya:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.(Q.S.(3/Ali ‘Imran):19)
Bahkan, lebih jauh kitab suci ini mempertanyakan:
“Apakah mereka masih mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan apa yang ada di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan”.(Q.S.(3/Ali ‘Imran):83)
Demikian itu, karena Islam, sesuai dengan pengertian literalnya yang berasal dari kata salima – yaslamu – salam – salim, berarti menyelamatkan, menegakkan perdamaian, penyerahan diri dan tunduk. Seseorang yang memeluk Agama Islam disebut Muslim. Seorang muslim adalah orang yang menyerahkan diri sepanjang hidupnya untuk patuh dan tunduk mengikuti dan melaksanakan seluruh ajaran Islam yang meliputi: ‘aqidah, syari’ah dan akhlaqnya.
Karena itu, ia dipandang telah menyelamatkan dirinya – bahkan keluarga dan masyarakatnya – dari bencana (‘adzab) di dunia dan akhirat. Hal itu, karena seorang muslim berarti pula telah “berdamai”2 dengan Allah SWT.“Sesungguhnya Allah telah memeilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Q.S. al-Baqarah (2):132)
Ajaran Islam pada prinsipnya meliputi ‘aqidah, syari’ah dan akhlaq3‘Aqidah adalah simpul atau ikatan berupa peraturan Allah SWT terhadap seseorang yang mengaku dan mengikrarkan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Ikrar pengakuan ini biasa dikenal dengan dua kalimat syahadat. Dengan mengucapkan kedua
kalimat syahadat tersebut, seorang muslim –seharusnya menyadari dengan sebenar-benarnya
bahwa dirinya – telah terikat dengan seluruh ajaran Allah SWT. Ia tidak memeliki kebebasan
untuk hidup memperturutkan dorongan hawa nafsunya. Jika seorang muslim ingin memenuhi keinginan nafsunya, maka caranya harus sesuai dengan aturan Allah SWT. Misalnya, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, kebutuhan biologis dan sebagainya harus dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan dan ketentuan Allah SWT.
Prinsip ‘aqidah, pengakuan yang mengikat seorang dengan Allah Yang Maha Esa semata, adalah berlaku sepanjang masa. Karena itu, ‘aqidah menjadi dasar dan pokok semua ajaran agama-agama samawi. Akhlaq secara bahasa berasal dari khalaqa – yakhluqu – khalqun atau khuluq – khaliq – makhluq mempunyai arti penciptaan. Sinonimnya adalah fathara – yafthuru – fithrah – fathir. Berperilaku yang baik seperti jujur, dapat dipercaya, berlaku adil, saling menolong, saling menghormati, dan sebagainya adalah akhlaq yang sesuai dengan penciptaan manusia yang suci (fithrah). Islam memandang bahwa akhlaq (segala bentuk perilaku dasar penciptaan) semua manusia adalah baik. Dalam kata lain, fthrah semua manusia adalah suci. Karena itu,akhlaq berlaku untuk semua manusia sepanjang masa. Berbeda dengan ‘aqidah dan akhlaqsyari’ah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan tingkat peradaban manusia. Syari’ah yang dibawa oleh masing-masing Rasul untuk diikuti oleh para pengikutnya tidak sama. Syari’ah Islam, sebagai syari’ah yang terakhir, berfungsi meneruskan, melengkapi dan menyempurnakan syari’ah agama-syari’ah agama terdahulu. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan atuturan dan jalan yang terang, sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah kamu dalam kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (Q.S.(Al- Maidah) 5:48)
Berkaitan dengan itu, Rasulullah saw. memberi tamsil dalam sabdanya: “Para rasul tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, ibunya (syari’ahnya) berbeda-beda sedangkan dinnya (‘aqidah tauhidnya) adalah satu”. (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad)
Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah hubungan manusia dengan Allah semata, tetapi
juga mengatur cara memandang dan memperlakukan dirinya sendiri, cara bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya seprti ilmu perekonomian, karena Islam memandang bahwa sistem ekonomi Islampun adalah merupakan sistem sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat yang tidak hanya di proyeksikan kepada orang Islam saja melainkan untuk orang yang beragama non Muslim( Suma,2008). Islam menjadi “ramburambu” kehidupan yang mengatur semua aspek kehidupan manusia untuk menjamin terwujud dan terpeliharanya kemaslahatan dan kebaikan jiwa manusia, harta, keturunan, akal dan agamanya4. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia, sebagai khalifah Allah di muka bumi. Manusia dianugerahi amanah untuk mengelola bumi dan semua isinya dengan sebaik-baiknya dan harus sesuai dengan petunjuk-Nya agar terwujud kemaslahatan, kemakmuran, perdamaian dan kesejahteraan di muka bumi.
Bumi dan seluruh isinya sebagai amanah berarti bahwa kelak di hari kemudian manusia akan diminta pertanggungjawabannya menyangkut kesesuaiannya dalam pengelolaanya itu dengan petunjuk Allah SWT. Karena itu, bagi setiap muslim harus menjadikan syari’ah Islam sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupannya sehari-hari.
Al-Qur’an memaknai hakekat kehidupan manusia dengan ujian, yaitu menguji siapakah di antara manusia itu yang seluruh aktivitas kehidupannya paling sesuai dengan syari’ah Islam. “Maha Suci Allah Yang di Tanga-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya5. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Al-Mulk (67):1 –2)
2.2.2. Pandangan Islam terhadap Harta dan Ekonomi
Tidak sama dengan prisip ekonomi kapitalis yang mementingkan hak-hak individu dengan mengorbankan hak-hak masyarakat umum ( Suma, 2008), Islam mengajarkan agar setiap manusia menyadari bahwa pemilik yang sebenarnya terhadap segala sesuatu yang ada di langit maupun di muka bumi ini, termasuk harta benda yang diperoleh oleh setiap manusia bahkan diri manusia itu sendiri, adalah Allah SWT.
Kepemilikan manusia terhadap harta benda hanya bersifat relatif, sebatas hak pakai. Hak pakai ini pun harus sesuai dengan petunjuk dan peraturan-Nya. Kelak setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya tentang pemakaian harta benda yang dititipkan oleh Allah itu telah sesuai atau tidak dengan petunjuk dan ketentuan-Nya. Semua harta benda telah diamanatkan Allah kepada manusia agar dijadikan sarana beribadah kepada-Nya. Di samping
itu, selalu diingatkan Allah bahwa harta benda tidak hanya sebagai perhiasan hidup yang menyenangkan, tetapi juga sebagai pengujian keimanan dan ketakwaan seseorang kepada-Nya. Hal ini dimaksudkan agar harta benda itu diperoleh dan dibelanjakan (infaq=membelanjakan) dengan cara yang sesuai dengan petunjuk dan ketentuan yang telah disyari’atkan Allah SWT.
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. …”.(Q.S.Al-Baqarah (2):284)
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran di sisi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(Q.S. al-Baqarah (2):262)6
Segala bentuk kegiatan yang mengerahkan sumber daya yang dimiliki secara rasional dan etis oleh setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidupnya sebagai khalifah Allah – yang disebut sebagai kegiatan ekonomi – adalah wajib hukumnya menurut Islam. Dalam literatur fiqih Islam, istilah ekonomi dikenal dengan nama aliqtishaadiah, yang secara literal memiliki makna kesederhanaan, pertengahan, adil, hemat dan sebagainya (Q.S.Luqman (31):19)Hal ini mengindikasikan bahwa Islam mengajarkan agar dalam melakukan kegiatan ekonomi seseorang harus menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesederhanaan, penghematan dan sebagainya. Ekonomi Islam pada prinsipnya menunjuk kepada segala bentuk kegiatan yang memanfaatkan seluruh sumberdaya untuk memproduksi barang dan jasa, mengkonsumsi dan mendistribusikannya sesuai dengan petunjuk Allah SWT. dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan di muka bumi dan meraih ridha-Nya. Dengan demikian, kegiatan ekonomi di dalam Islam diyakini sebagai bahagian dari manifestasi ibadah kepada Allah SWT. dan melaksanakan tugas sebagai khalifah-Nya.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya, maka sama seperti mujahid di jalan Allah”.(H.R. Ahmad)
Petunjuk-petunjuk Allah mengenai kegiatan ekonomi secara garis besar telah termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis Nabi (Q.S. al-Mulk (67):15, al-Baqarah (2):60, 168, al-Maidah(5):87-88) Upaya untuk memahami petunjuk Allah dan Rasul-Nya dalam bidang ekonomi telah dilaksanakan terus menerus oleh para ulama Islam sepanjang zaman sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan segala kegiatan dan produk-produk ekonomi. Dalam memahami petunjuk dan ketentuan yang disyari’atkan Allah dalam bidang ekonomi ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaedah: “segala bentuk kegiatan dan produk ekomi pada prinsipnya (hukum asalnya) adalah halal, kecuali terdapat dalil (petunjuk atau ketentuan) secara eksplisit atau implisit yang melarang (mengharamkan) nya”.
2.2.3. Karakateristik Ekonomi Syariah
Agama Islam memandang bahwa semua bentuk kegiatan ekonomi adalah bahagian dari mu’amalah. Sedangkanmu’amalah termasuk bahagian dari syari’ah, salah satu dari kedua ajaran Islam yang pokok lain yang tidak dapat dipisah-pisahkan: ‘aqidah dan akhlaq. Dalam kaitan ini Allah SWT. memberi tamsil tentang hubungan yang tak terpisahkannya ketiga ajaran pokok Islam itu dalam firman-Nya:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaanperumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikitpun.” (Q.S.Ibrahim (14):24)
Ekonomi Islam yang selanjutnya disebut dengan ekonomi syari’ah dibangun, ditegakkan dan dilaksanakan berdasarkan ruh dan spirit serta menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut: 1). ‘aqidah tauhid, 2). keadilan, 3). Kebebasan, dan 4). Ke-mashlahat-an (akhlak yang terpuji). Nilai-nilai kemuliaan itu disarikan dari firman Allah di dalam Q.S. at-Tkaatsur (102):1–2), al-Munaafiquun (63):9, an-Nuur (24):37, al-Hasyr (59):7, al-Baqarah (2):188, 273– 281, al-Maidah (5):38, 90-91, al-Muthaffifin (83):1-6, dan sebagainya.
Dalam kaitan ini Al-Qur’an telah menyerukan agar setiap muslim melakukan segala aktivitas kehidupannya termasuk dalam bidang ekonomi selalu bertumpu pada ‘aqidah tauhid. Dalam hal ini berarti bahwa pencipta, pemilik dan penguasa segala yang ada hanyalah Allah Yang Maha Esa saja. Karena itu, manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dalam melakukan kegiatan ekonomi selalu bertumpu pada keimanan kepada Allah SWT dan bertujuan mencari ridha-Nya. Kegiatan ekonomi yang berlandaskan ‘aqidah tauhid menjamin terwujudnya kemaslahatan dan kebaikan perekonomian untuk masyarakat luas – bukan hanya masyarakat muslim. Hal ini, karena ekonomi dalam pandangan Islam merupakan sarana dan fasilitas yang dapat membantu pelaksanaan ibadah dengan sebaik-baiknya. Kegiatan ekonomi yang demikian dilaksanakan oleh pelaku-pelaku ekonomi yang selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah SWT, sehingga selalu berhias dan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji, keadilan, bebas dari segala tekanan untuk meraih kebaikan hidup yang diridhai Allah SWT.di
dunia dan di akhirat. Keterikatan kegiatan ekonomi yang berlandaskan ‘aqidah tauhid dengan
akhlak yang terpuji tidak dapat dipisahkan. Peranan ‘aqidah tauhid dan akhlak yang terpuji dalam semua kegiatan setiap manusia, termasuk di dalamnya kegiatan bidang ekonomi, adalah sangat penting. Kedua pokok ajaran Islam itu akan mengarahkan kegiatan perekonomian ke jalan yang sesuai dengan syari’at Islam.
Keadilan, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, adalah kunci dan dasar dari segala aktivitas manusia yang menginginkan terwujudnya kesejahteraan, ketenangan dan keamanan hidup di dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini ‘aqidah tauhid sebagai fondasi dari seluruh kegiatan setiap muslim merupakan manifestasi dari keadilan. Sebaliknya, syirk, menyekutukan Allah SWT, adalah bahagian dari kezaliman (Q.S.Luqman (31):13). Keadilan merupakan sarana terdekat untuk menuju taqwa, yaitu suatu tingkatan akhlaq terpuji yang paling tinggi (Q.S. al-Maidah (5):8) Oleh karena itu seluruh kebijakan dan kegiatan perekonomian harus dilandasi prinsip keadilan dan secara intrinsik mewujudkan keadilan, tolong menolong dan kemitraan. Ekonomi dalam pandangan Islam harus menjalankan dua misi perekonomian sekaligus, yaitu pertumbuhan dan pemerataan distribusi. Pada tataran teknis kedua misi itu tampak pada produk mudharabah (lost and profit sharing). Pada produk ini pemilik modal dan pengelola modal ditempatkan pada posisi yang sejajar dan berkeadilan.
Lebih jauh, Al-Qur’an dan Hadis memandang prinsip keadilan sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (Q.S. an-Nahl (16):90). Karena itu, para ulama Islam telah menetapkan kesepakatannya bahwa prinsip berkeadilan merupakan syarat utama pelaksanaan kegiatan perekonomian syari’ah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Prinsip kebebasan dimaksudkan bahwa manusia bebas melakukan seluruh kegiatan perekonomian selama tidak ada petunjuk dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk kreativitas dan inovasi di bidang perekonomian adalah merupakan keniscayaan. Pilar kebebasan yang melandasi aktivitas ekonomi menanamkan ‘aqidah dan keyakinan pada setiap muslim untuk tidak patuh dan tunduk selain kepada peraturan dan ketentuan Allah SWT. (Q.S. ar-Ra’d (13):36 dan Q.S. Luqman (31):32). Ini merupakan dasar bagi piagam kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan. Berkaitan dengan ini, Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tujuan utama dari risalah kenabian Muhammad SAW. adalah membebaskan seluruh umat manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah Yang Maha Esa saja. Islam membebaskan seluruh pemeluknya dari segala macam belenggu hawa nafsu, setan dan sebagainya (Q.S. al-A’raf (7):157)7.
Konsep Islam sangat jelas dan lantang bahwa manusia dilahirkan merdeka. Karenanya, tidak ada seorang pun bahkan negara sekalipun yang boleh merampas kemerdekaan tersebut dan membuat manusia menjadi terikat. Dengan kata lain, manusia diberi kebebasan sepanjang dapat mempertanggungjawabkan, baik kepada sosial maupun kepada Allah. Islam menjamin kebebasan setiap individu yang dibingkai oleh akhlak yang terpuji dan tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar serta tidak mengabaikan hak-hak kebebasan orang lain. Berkaitan dengan ini, para ulama Islam telah menetapkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam menjamin hak-hak kebebasan individu dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut:
1.      Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari pada kepentingan individu.
2.      Menghilangkan kesulitan (dar’u al-mafasid) harus diprioritaskan dibanding menarik manfaat (jalbu al-mashaalih), meskipun kedua-duanya sama-sama menjadi tujuan syari’ah.
3.      Memperoleh kerugian yang lebih besar yang disebabkan mendahulukan tindakan untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil tidak dapat diperkenankan. Sebaliknya demikian juga, mengorbankan manfaat yang lebih besar untuk mempertahankan atau meraih manfaat yang lebih kecil juga dilarang. Demikian juga menanggung resiko bahaya yang lebih kecil untuk menghindarkan resiko bahaya yang lebih besar, atau mengorbankan manfaat yang lebih kecil untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar adalah tindakan yang dibenarkan.
Pertanggungjawaban dalam kegiatan ekonomi syari’ah memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambil atau tindakan yang telah dilakukan. Manusia, menurut Islam, adalah makhluk yang mempunyai kebebasan untuk menentukan berbagai pilihan yang akan diambil. Konsekwensi kebebasannya ini, kelak, akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Karena itu, hampir tidak ditemukan di dalam perkembangan ekonomi Islam tindakan-tindakan yang didasari oleh sikap positivesme – yang merupakan salah satu dari pilar penting dalam perekonomian konvensional. Positivisme yang diartikan sebagai paham bebas nilai, bebas etika atau bebas dari pertimbangan-pertimbangan normatif adalah bertentangan secara deametral dengansikap Islam yang mengakui bahwa segala yang dimiliki manusia adalah amanat, titipan, dari Allah SWT. Seluruh sumberdaya adalah karunia Allah yang dititipkan kepada manusia sebagai sarana mempermudah pengabdiannya kepada-Nya. Karena itu segala tindakan manusia menyangkut masalah ekonomi ini khususnya, kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Yang memberikan titipan, Allah SWT.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.(Q.S. al- Hadid (57):7)
Karakteristik terpenting yang membedakan antara sistem ekonomi syari’ah dan ekonomi konvensional adalah bahwa okonomi syaria’ah tidak dapat dipisahkan dengan ‘aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam praktiknya, sistem ekonomi syari’ah dimanivestasikan dalam kegiatan perekonomian yang menjunjung tinggi dan dibingkai oleh akhlak yang terpuji. Hanya dengan menjunjung tinggi akhlak yang terpuji (al-akhlaaq al-kariimah) kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan manusia akan terwujud. Mendidik dan menegakkan akhlak yang tgerpuji inilah yang menjadi misi utama dari risalah kenabian Muhammad SAW. “Sesungguhnya tidaklah aku diutus, melainkan untuk menyempurnakan akhlak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam sama sekali tidak memperkenankan semua pemeluknya untuk melakukan kegiatan ekonomi yang mengabaikan dan menyimpang dari kemuliaan dan keutamaan yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
2.2.4. Pengertian Bank Syariah
Pengembangan perbankan yang didasarkan kepada konsep dan prinsip ekonomi Islam merupakan suatu inovasi dalam sistem perbankan internasional. Meskipun telah lama menjadi wacana pada kalangan publik dan para ilmuan muslim maupun nonmuslim, namun pendirian institusi bank Islam secara komersial dan formal belum lama terwujud. Salah satu bank terbesar di negara-negara arab, misalnya Bank Islam Faisal di Sudan dan Mesir, pertama berdiri pada tahun 1977 (Naser dan Moutinho, 1977). Sementara di kawasan Asia Tenggara, Bank Islam Malaysia Berhad telah didirikan pada tahun 1983 (Haron et. Al., 1994). Di Indonesia, bank Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang telah berdiri pada tahun 1992. Dalam kaitan ini, terdapat dua hal yang mendorong eksistensi dan perkembangan perbankan Islam – yang selanjutnya di sini disebut dengan bank syariah – adalah munculnya keinginan dan kebutuhan masyarakat serta keunggulan dan kelebihan yang
dimiliki bank syariah.
Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 2/8/PBI/2000, pasal I, Bank Syariah adalah “bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah”. Adapun yang dimaksud dengan unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat bank konensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah.
Terdapat perbedaan mendasar antara bank konvensional dan bank syariah:
Pertama, dari segi akad dan aspek legalitas. Akad yang praktikkan dalam bank syariah memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi, dunia dan akhirat, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum atau syari’at Islam. Jika terjadi perselisihan antara nasabah dan bank, maka bank syariah dapat merujuk kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang penyelesaiannya dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Kedua, dari sisi struktur organisas, Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, namun unsur yang membedakannya adalah bahwa bank syariah harus memilki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional dan produkproduk bank agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ahIslam. Eksistensi Dewan Syariah di dalm struktur organisasi bank syariah adalah wajib, bahkan bagi setiap bank yang bersekala kecil sekalipun, seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) atau Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) harus mempunyai Dewan Pengawas Syariah.
Ketiga, berkenaan dengan bisnis dan usaha yang dibiyai, haruslah bisnis dan usaha yang diperkenankan atau dihalalkan oleh syari’at Islam. Kehalalan bisnis dan usaha merupakan syarat mutlak agar suatu bidang usaha ituhalal untuk dibiayai oleh perbankan syariah. Karena itulah, secara langsung atau tidak langsung perbankan Islam tidaklah sematamata merupakan institusi ekonomi, tetapi juga sebagai institusi yang ikut bertanggung jawab menjaga moral dan akhlak masyarakat.
Keempat, berkaitan dengan lingkungan kerja dan budaya perusahaan perbankan (Corporate culture). Dalam hal etika, sifat shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas, professional) dan tabligh (komunikatif, ramah, keterbukaan) harus melandasi setiap tindakan para pelaku perbankan syariah. Dalam hal reward and punishment yang berlaku dalam perbankan syariah dipraktikkan dengan prinsip berkeadilan dan sesuai dengansyari’ah.
Dengan demikian, perbankan syariah adalah perbankan yang beroperasi atas dasar prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah merupakan aturan dasar atau pokok yang berdasarkan hukum Islam. Prinsip ini menjadi landasan dan acuan dalam mengatur hubungan antara perbankan dan pihak-pihak lain serta di dalam usaha menghimpun dan menyalurkan dana dan aktivitas perbankan syariah lainnya. Selain itu, dalam operasional perbankan syariah pada prinsipnya dapat melakukan kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan petunjuk dan ketentuan syari’ah, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta persetujuan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.
2.2.5. Perbedaan antara Bank Syariah dan bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memeliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum untuk memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Di samping itu, antara bank syariah dan bank konvensional memiliki perbedaan yang sangat prinsipil, yakni menyangkut akad-akad yang ditetapkan, aspek legalitas, struktur organisasi, bidang usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja.
(1). Akad dan aspek legalitas.
Di dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Di dalam perbankan syariah, apabila pihak-pihak yang melakukan akad atau trasaksi melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani, maka konsekwensi hukum yang akan diterima tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga kelak di hari kiamat. Semua hal dan pihak-pihak, baik barang, jasa maupun pelaku-pelaku yang terlibat dalam setiap akad transaksi perbankan syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah sebagai berikut:
a. Rukun: penjual, pembeli, barang, harga dan akad (ijab-qabul / transaksi)
b.Syarat-syarat, yaitu:
a) Barang dan jasa harus halal. Karena itu segala bentuk akad / transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal / haram demi syari’ah.
b) Harga barang dan jasa harus jelas.
c) Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
d) Barang yang menjadi obyek transaksi harus sepenuhnya dalam kepemilikan yang sah.
Tidak diperbolehkan oleh syari’ah melakukan akad / transaksi jual beli atas barang atau sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale di pasar modal.
(2) Lembaga Penyelesaian Sengketa
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terjadi perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Pengadilan Negeri, tetapi di Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI). Lembaga inilah yang mengatur penyelesaian sengketa yang terjadi antara perbankan syariah dan nasabahnya. Lembaga ini didirikan atas kerjasama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, BAMUI dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut perbankan syariah mengacu kepada hukum materi syari’ah.
(3). Struktur Organisasi
Bank syariah diperkenankan untuk memeliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, misalnya adanya dewan komesaris dan direksi. Namun, di sisi lain terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara struktur organisasi yang dimiliki bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan yang mendasar itu adalah bahwa di dalam struktur organisasi perbankan syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas pendapat atau opini yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Struktur organisasi tersebut terbagi atas:
a. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Fungsi utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah mengawasi jalannya operasional bank syariah sehari-hari agar selalu sesuai dengan petunjuk dan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini, karena akad / transaksi yang berlaku di dalam sistem perbankan syariah sangat berbeda dengan akad / transaksi yang berlaku di dalam perbankan konvensional. Dalam kaitan ini, dalam sistem perbankan syariah diperlukan garis-garis panduan (guidelines) yang berbeda pula dengan sistem perbankan konvensional. Garis panduan ini disusun dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional. Dalam pada itu, Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya setiap tahun) bahwa bank syariah yang diawasi telah berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pernyataan DPS ini disampaikan dalam buku laporan tahunan (annual raport) bank yang bersangkutan.
Tugas lain Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah meneliti dan membuat rekomendasi atas produk baru bank syariah yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring petama atas produk yang telah diteliti dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
b. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pulalah jumlah DPS. Hal ini patut disyukuri, tetapi juga harus disikapi dan diwaspadai secara hati-hati. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS atas produk yang sama dalam beberapa perbankan syariah yang berbeda. Hal ini tidak mustahil akan menimbulkan kebingungan dan keresahan umat Islam dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi keislaman di Tanah Air, menganggap perlu dan penting dibentuknya satu dewan syariah bersekala nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan syariah, termasuk di dalamnya Dewan Pengawas Syariahnya. Lembaga ini kemudian dikenal dengan nama Dewan Syariah Nasional atau DSN.
Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi dari Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonomi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan seorang sekertaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional (DSN) ini dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekertaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syari’at Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi perbankan syariah, tetapi juga mengawasi lembaga-lembaga keuangan syariah lain, seperti asuransi, reksadana, modal ventura dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap lembagalembaga keuangan syariah dan menjadi dasar acuan dalam pengembangan produkproduknya.
Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi kepada para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah tertentu. Dewan Syariah Nasional dapat memberikan teguran kepada lembaga keuangan syariah yang dipandang telah menyimpang dari garis panduan perbankan syariah dan petunjuk syari’at Islam. Hal ini dilakukan setelah menerima dan mendapat laporan dari Dewan Pengawas Syariah lembaga keuangan atau perbankan syariah yang bersangkutan. Jika lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan saksi hukum yang berlaku agar lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih jauh dari ketentuan dan petunjuk syari’ah.
(4). Bisnis dan Usaha yang Dibiyai Perbankan Syariah.
Di dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari ketentuan dan petunjuk syari’ah. Karena itu, bank syariah tidak diperkenankan membiyai bisnis dan usaha yang diharamkan oleh syari’ah. Lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah tidak akan memperhatikan permohonan pembiyaan dari suatu usaha atau bisnis ebelum mendapatkan kejelasan dan kepastian akan beberapa hal pokok sebagai berikut:
a. Apakah obyek pembiayaan itu halal atau haram?
b.Apakah proyek yang akan dibiyai itu menimbulkan madharat atau tidak?
c.Apakah proyek yang akan didanai berkaitan dengan perbuatan zina / asusila lainnya?
d.Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian?
e.Apakah proyek yang akan dibiyai itu berkaitan dengan pembuatan senjata ilegal?
f. Apakah proyek itu dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung?
(5). Lingkungan Kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah sudah semestinya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan ketentuan dan petunjuksyari’ah. Dalam hal etika, misalnya sifat shiddiiq (kejujuran), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas,professional) dan tabligh (komunikatif/mampu melakukan kerja secara teamwork, keterbukaan) dan sebagainya adalah menjadi budaya kerja yang ditunjukkan oleh setiap pelaku di seluruh tingkat struktur organisasi perbankan syariah. Termasuk di dalam kaitan ini adalah cara berpakaian, pergaulan dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang
membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku atau pergaulan yang tidak terpuji. Demikian juga dalam mengahdapi nasabah, akhlak terpuji harus
selalu dikedepankan. Secara lebih rinci, dalam tabel berikut dapat disajikan perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional yang di sarikan dari ( Suma 2008):
BANK SYARIAHBANK KONVENSIONAL
1. Berinvestasi pada jenis bisnis dan usaha
yang halal saja
2. Keuntungan berdasarkan prinsip bagi
hasil, jual beli dan sewa
3. Mengharamkan bunga
4. Profit dan falah (keberuntungan di dunia
dan akhirat) oriented
5. Hubungan dengan nasabah adalah
kemitraan
6. kegiatan operasionalnya harus
mendapat rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah (DPS)
1. Investasi pada jenis usaha halal dan
haram adalah sama saja.
2. Keuntungan berdasarkan sistem bunga
3. Menghalalkan bunga
4. Profit oriented
5. Hubungan dengan nasabah adalah
debitor-debitor
6. Tidak ada Dewan Pengawas Syariah
2.2.5. Perbedaan antara Konsep Bunga dan Riba
Volker Ninhaus, seorang pakar ekonomi Bochum, Jerman, menyebut ada empat pendekatan  ang digunakan pakar Muslim tentang ekonomi Islam, yaitu (1) pendekatan pragmatis  enggan  elakukan berbagai kegiatan konkrit dan langsung untuk menumbuhkan perekonomian  uslim  i seluruh dunia, (2) pendekatan resitatif dengan merumuskan berbagai kode etik ekonomi  ang dapat ditarik dari Al-Qur’an dan Hadis, (3) pendekatan utopia yang menghasilkan rumusan-rumusan tentang rasionalitas ekonomi menurut ajaran Islam, dan (4) pendekatanadaptatif yang mencoba mencari kaitan antara ajaran-ajaran Islam di bidang etika ekonomi dan doktrin-doktrin ekonomi dari ideologi Barat yang sudah dikenal. Pendekatanpendekatan ini merupakan jembatan antara sistem ekonomi pada tataran normatif dan praktis dalam perspektif Islam.
Di atas kode etik inilah dibangun suatu sistem perekonomian yang adaptif terhadap lingkungan. Dalam tataran aplikasi, sistem yang dibangun ini biasanya mengalami perbedaan antara satu tempat dengan tempat sistem itu dijalankan. Dalam ajaran Islam terdapat petunjuk-petunjuk yang sifatnya langsung. Sungguhpun demikian tidak bisa diabaikan kemungkinan pengaruh tidak langsung dari ajaran-ajaran Islam yang sifatnya umum terhadap kegiatan ekonomi. Petunjuk-petunjuk yang sifatnya langsung ini telah menimbulkan perumusan-perumusan hukum atau syariah yang dijadikan referensi bagi sistem ekonomi.
Dengan kerangka semacam ini, sistem ekonomi Islam dipandang sebagai pelaksanaan syariah Islam dalam bidang ekonomi. Jadi, apa yang disebut sebagai ekonomi Islam lebih pada persoalan yang bersifat “mengatur” prilaku ekonomi secara konkrit. Sejauh ini belum ada kesatuan sikap dan pandangan kaum Muslimin terhadap dunia perbankan konvensional yang menyangkut bunga bank. Satu pihak menginterpretasikan bunga bank sebagai riba tanpa memandang apakah itu pinjaman konsumtif atau produktif. Sementara pihak lain berpendapat bahwa bunga bank bukan riba karena adanya unsur-unsur produktif yang menyertainya. Bunga bank termasuk riba, jika digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Atau seperti pandangan Syarifuddin Prawiranegara, Gubernur pertama, bahwa bunga bank termasuk riba jika proses transaksi bersifat memeras.
Kredit konon berasal dari kata qardh, yang berarti meminjamkan uang atau barang atas dasar kepercayaan. Dalam Fikih, orang yang meminjamkan uang tidak boleh meminta manfaat apa pun dari yang dipinjaminya, ternasuk janji si peminjam untuk membayar lebih dari yang dipinjamnya. Bahkan, sebuah Hadis menyebutkan,“Dan bila orang yang berutang memberimu hadiah atau menawarimu untuk menaiki kendaraannya, maka jangan pernah engkau naiki kendaraannya, kecuali hal itu memang biasa dilakukan sebelum pinjam-meminjam.”
Jelasnya, dalam skim/qardh, baik peminjam maupun yang meminjamkan tidak boleh mensyaratkan atau menjanjikan manfaat apa pun. Sebab, jika syarat atau janji bisa diberikan oleh yang meminjam, sangat besar kemungkinannya bagi yang memberi pinjaman itu akan memeras si peminjam dalam berbagai bentuknya. Namun demikian, praktik perbankan konvensional tetap menjadi persoalan kontroversial di kalangan umat Islam. Batas-batas pemerasan dalam praktik konvensional, jika memang ada, bagaimana pun merupakan sesuatu yang kompleks. Belum adanya kesatuan pandangan dari umat Islam tentang praktik perbankan konvensional dengan sistem pembungaanya ini mendorong terciptanya sistem perbankan alternatif, yaitu sistem non-bunga dan dengan prinsip bagi keuntungan dan kerugian.
Di bawah ini ditampilkan ringkasan pandangan para ulama yang menegaskan belum bersatunya pendapat mereka tentang bunga bank.
LEMBAGAFATWAHASIL
Masjid Al-
Azhar, Kairo,
Mesir
Majma’ Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Fatwa
Tertinggi Al-Azhar yang dipimpin Syeikh
Al-Azhar) Tahun 1965
Bunga Bank adalah riba yang
diharamkan syariat Islam
Majma’ Buhuts al-Islamiyah (Lembaga Fatwa
Tertinggi Al-Azhar yang dipimpin Syeikh
Al-Azhar) Tahun 2002
1. merevisi fatwa tahun 1965
2. 9 dari 14 ulama yang hadir
menyatakan bahwa bunga
bank tidak sama dengan
riba, maka hukumnya halal
3. 4 dari 14 ulama
menyatakan bunga bank
haram. 1 oarang di antara
para ulama itu tidak
bersikap
MuhammadiyahSidang Majlis Trjih Muhammadiyah tahun
1972, 1976, 1986 dan 1989
Hukum bunga bank masih
mauquf (tidak bersikap)
NUBahtsul Masail NU tahun1982 sampai
dengan sekarang
Memberikan tiga alternatif
hukum, yaitu: halal, haram dan
syubhat.
MUIIjtima’ (Pertemuan) ulama Komisi Fatwa se-
Indonesia dan rapat kerja MUI, Desember
2003
Bunga bank Haram dan umat
Islam harus menjahuinya.
Secara rasional, adakah madharat sistem bunga ini lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diraih? Menurut M. Umer Chapra (1999), alasan di balik pelarangan bunga mungkit sulit untuk dipahami, kecuali bila dalam memahaminya itu selalu mempertimbangkan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan substantif penerapansyari’at Islam) itu sendiri.  Konsekwensi dari pernyataan tersebut adalah bahwa strategi yang akan dijalankan dalam perbankan haruslah sesuai dengan tujuan syari’ah, karena bila tidak, maka tujuan tersebut tidak akan dapat diwujudkan. Adapun tujuan syari’at Islam dimaksud adalah keadilan. Perbedaan konseptual antara dua hal yaitu riba dan bunga seringkali kurang jelas.
Riba secara literal berarti semakna dengan kata ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain secara linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar. Menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara tidak sah (bathil). Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan hakekat riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam traksaksi jual
beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam10. Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang  beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil … (Q.S. An-Nisa’ (4):29).
Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, pengertian al-bathil dalam ayat di atas adalah sebagai berikut: “riba secara bahasa berarti tambahan. Namun yang dimaksud riba dalam Al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syari’ah”11.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan sersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai sewa, atau bagi hasil dan kerugian dari sebuah usaha bisnis atau proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa kaena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatau barang karena digunakan oleh penyewa. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian pula dalam transaksi bagi hasil dalam sebuah usaha, semua pihak yang terlibat dalam usaha tersebut berhak mendapatkan kaeuntungan karena di samping menyertakan modal juga ikut serta menanggung resiko kerugian yang dapat terjadi setiap saat. Demikian itu didasarkan pada kenyataan yang rasional bahwa modal/uang tidak mungkin dapat berkembang dengan sendirinya karena faktor waktu semata tanpa dibarengi kerja dan usaha untuk mengembangkan modal tersebut12. Hanya saja, memastikan seberapa besar perkembangan modal usaha (keuntungan) tersebut dan atau resiko kerugiannya adalah bertentangan dengan ‘aqidah tauhid, karena menyangkut masa depan yang bisa memastikan nasib baik buruk hanya Allah saja.
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”13. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”.(Q.S. al-Kahfi (18):23)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok14. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Luqman (31):34)
Pengertian yang sama menyangkut makna riba juga telah disampaikan oleh berbagai ulama dari berbagai madzhab fiqih Islam. Badr al-Diin al-Ayni, pengarang kitab ‘Umdat al- Qaari Syrh al-Shahiih al-Bukhaariy, menyatakan: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil”. Al- Imam Sarakhasi dari madzhab hanafiah berpendapat: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibebankan syari’ah atas penambahan tersebut”.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang (riba duyun) dan riba jual-beli (riba buyu’). Riba utang piutang terbagi menjadi riba qaradh dan riba jahiliyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadiriba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Adapun riba jahiliyah yaitu utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba duyun misalnya terjadi ketika kreditur setuju untuk memberikan kelonggaran debitur menunda pembayaran dari hutang sebelumnya dan sebagai gantinya adalah penambahan sejumlah nilai saat debitur mengembalikan hutangnya.
Riba fadhl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuantitsnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung unsur gharar, yaitu ketidak jelasan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan seperti ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak atau berbagai pihak yang lain. Untuk memperjelas riba fadhl ini dapat dikemukakan contoh sebagai berikut:
Riba nasi’ah yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria. Untung muncul bersama resiko kerugian (al-ghunmu bi al-ghunmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi al-dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Nasi’ah berarti penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi, alghunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmi (resiko), hasil usaha (al-kharaj) timbul tanpa adanya biaya (al-dhaman). Jadi, al-ghunmu danal-kharaj diperoleh karena hanya berjalannya waktu.
Di dalam Hadis dikemukakan riba yang dipratikkan dalam berbagai transaksi penjualan, baik dalam bentuk pertukaran, maupun kredit (pembiayaan berangsur). Untuk riba yang terjadi di dalam pertukaran antara dua komiditi yang berbeda dengan tingkat kualitas yang jauh berbeda disebit riba fadhl. Jika pertukaran tersebut terjadi dengan kualitas yang sama, maka bukan riba fadhl dan itu dibenarkan. Contih riba fadhl adalah 1 Kg komoditi kurma berkualitas tinggi ditukarkan dengan 2 Kg gandum berkualitas yang berbeda; lebih tinggi atau lebih rendah dari kualitas 1 Kg kurma tersebut.
Dalam kaitan ini umumnya pihak bank konvensional mengklaim bunga sebagai pengganti dari biaya enam komponen yang ditimbulkan akibat dari transaksi peminjaman, yaitu: bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana (dalam hal ini pihak ketiga yang memberikan dana investasi kepada bank), biaya jasa, biaya penyusutan, premi resiko, konpensasi dari inflasi, renumerasi terhadap bank dalam penyediaan jasa. Dari pengertian tersebut pihak bank hanya sebagai perantara antara si peminjam dan pemilik dana.
Menurut Abu Ahmad Akif, riba adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti peningkatan, baik positif maupun negatif. Di dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan juga dalam arti peningkatan yang positif (yurbi al-shadaqat; dalam Q.S.Al-Baqarah (2):276)16. Pernyataannya yang lebih tegas adalah:
1. Bunga adalah riba yang jelas dilarang oleh agama Islam, tidak peduli dalam bentuk nama apapun atau pendiskripsian apapun.
2. Keuntungan dari pinjaman apapun adalah haram, meskipun pinjaman itu digunakan untuk konsumsi ataupun produksi.
3. Riba adalah dilarang tanpa melihat kualifikasi atau tingkatannya, dan semua tingkatan riba
termasuk dalam segala jenis bunga.
4. Bunga dalam tingkatan apapun yang melampaui 0% adalah riba dan itu dilarang oleh syari’at Islam.
Pelarangan riba yang muncul di dalam hukum Islam klasik, bukanlah semata-mata sebagai upaya untuk mencegah kaum kaya mengeksploitasi kaum miskin (Muhammad al- Gamal, 1998). Berkaitan dengan hal tersebut, isu mengenai riba ini menjadi kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa perbankan konvensional yang mengembangkan bunga sebagai bagian keuntungan dari pertumbuhan investasi bukanlah merupakan riba yang dilarang. Argumen ini tidak hanya berkembang dari minimnya pemahaman mengenai riba yang dilarang berdasrkan alasan eksploitasi, tetapi juga mengabaikan fakta bahwa banyak praktik riba terjadi di negara-negara Islam di jazirah Arab yang terjadi dalam perdagangan komersial maupun pembiayaan.
Namun demikian masih banyak perbedaan pendapat mengenai bunga dan riba. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bunga atas pinjaman adalah riba al-nasi’ah yang dilarangIstilah bunga bagaimanapun telah digunakan dalam istilah ekonomi dan dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Para ekonom muslim mengakui bahwa istilah bunga adalah istilah yang telah dikenal secara umum, sehingga mendorong mereka untuk mengklaim bahwa Islam tidak menerima nilai waktu dari uang (time value of money). Banyak sumber tulisan dari ekonom muslim yang menggarisbawahi pertanyaan apakah Islam mengakui atau tidak mengenai nilai waktu uang tersebut, dan banyak yang mengkategorikannya tidak menerima.
Pernyataan kontroversial tersebut oleh beberapa ilmuan muslim kemudian dijawab bahwa Islam tidak mengakui nilai waktu uang tetapi Islam mengakui bahwa waktu memiliki kontribusi pada nilai harga” (li al-zaman hadldlun fi al-tsaman). Sesungguhnya para ahli hukum Islam telah berupaya meletakkan basis kelembagaan keuangan Islam yang telah beroperasi  dalam tahun-tahun terakhir yang didasarkan pada prinsip mudharabah dan ijarah.
Penambahan nilai yang diperoleh dari sitem bunga dalam bank konvensional ditetapkan sebagai nilai konpensasi kepada jasa terhadap pedagang, atau jasa perantara keuangan. Meskipun pada kenyataannya perusahaan keuangan yang sama mungkin menjual item barang untuk satu harga tertentu bagi pembayaran kontan dan harga yang lebih tinggi bagi pembayaran cicilan. Hal ini tidak Islami, namun praktik keuangan seperti tetap dipraktikkan sampai saat ini. Di samping itu, harus diakui bahwa persoalan pertambahan nilai tersebut dapat dikatakan bunga atau bukan, masih bias (syubhat), baik dari sisi kajian akademis maupun sosiokultural yang sampai saat ini belum sepenuhnya kondusif terhadap kelembagaan keuangan Islam.
Dalam upaya menegakkan iklim yang kondusif, maka gerakan pendidikan dan penyadaran tentang bunga adalah riba yang dilarang syari’ah merupakan keniscayaan. Hal ini merujuk kepada referensi Islam yang ditunjukkan oleh salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy tentang larangan riba fadhl. Bunga didefinisikan sebagai pertukaran terhadap dua komoditi dalam jumlah maupun kualitas yang setara. Dalam hal ini maka larangan terhadap riba bukan hanya berkaitan dengan hutang, penundaan pembayaran atau yang berkaitan dengan nilai waktu lainnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa masalah keadilan berada di belakang mengapa riba dilarang oleh Islam. Keadilan tersebut dapat dicapai dengan mengkonpensasikan bagian yang sama dan setara dari nilai barang yang dapat diperkirakan nilai pasarannya pada saat itu.konpensasi yang setara ini ekwivalen paradeks effisiensi pareto dari sisi ekonomi. Selanjutnya adalah perlu adanya mekanisme kesepakatan awal (pre-commitment) di mana aturan yang telah disepakati adalah item yang sama untuk dipertukarkan dan harus setara dalam hal jumlah dan kualitas. Jika hal ini tidak dilakukan maka larangan terhadap riba fadhl akan memaksa pedagang untuk membuat mark up pasar terhadap rasio barang yang mereka perdagangkan.
Kebutuhan untuk mekanisme kesepakatan awal ini adalah untuk menghindari terjadinya neffisiensi perdagangan karena kurangnya informasi mengenai nilai harga yang adil dalam pertukaran antara dua komoditi. Disebabkan minimnya teori yang memuaskan tentang bunga dalam ilmu ekonomi modern, maka perkembangan hukum Islam yang melarang riba pada awalnya tidaklah berlandaskan pada teori ekonomi, namun berdasarkan pada norma atau syari’at agama, yang memandang penerapan sistem bunga merupakan representasi dari ketidak-adilan (Abbas Mirakhor,1995). Terhadap argumen yang menyatakan bahwa bunga merupakan imbalan dari sejumlah simpanan atau uang yang ditabung, para pakar muslim memberikan respon bahwa pembayaran bunga seperti itu hanya bisa dirasionalisasi dari sisi kepentingan ekonomi. Jika simpanan atau tabungan itu digunakan untuk investasi yang meningkatkan tambahan modal atau kekayaan, maka ketika seseorang menabung, tabungannya tersebut akan memberikan kontribusi terhadap asetnya. Tetapi di dalam  turannya , si penabung tidak memeliki wewenang untuk mengatur tabungannya akan berputar seperti apa dan seberapa besar tambahan aset/tabungannya.
Berdasarkan pendapat terserbut di atas, maka tiadanya pertambahan yang simultan dari investasi baru, baik yang berupa aset maupun hutang menyebabkan simpanan tersebut sebenarnya secara tidak langsung akan beralih kepemilikan tapi tidak akan ada pertambahan kekayaan. Dengan demikian perilaku seperti ini tidak membenarkan hak atas seseorang terhadap bunga. Terhadap argumen yang menyatakan bahwa bunga sebagai produktivitas atas modal, pakar muslim meresponnya dengan menyatakan bahwa meskipun produktivitas marjinal dan modal dapat berfungsi sebagai salah satu faktor dalam meningkatkan suku bunga, namun presentasi dari suku bunga tersebut tidak memeliki hubungan atau korelasi yang erat dengan produktivitas dari modal. Sedangkan argumen terhadap pandangan bahwa bunga adalah imbalan uang yang ditabung, pihak yang setuju terhadap bunga merespon bahwa suku bunga tersebut dibayarkan sebagai imbalan atas jasa uang yang dipinjamkan atau disimpan, bukan dalam penyertaan modal. Para pakar muslim berargumentasi bahwa hal ini adalah kesalahan dari teori ekonomi modern yang memberlakukan bunga sebagai pengembalian untuk modal dan juga imbalan jasa untuk pengusaha atau pihak yang mentransformasi simpanan yang potensial menjadi penambahan aset yang aktual, meskipun sebenarnya pihak yang meminjamkan tidak melakukan apapun untuk mengkonversi uang menjadi modal dan menggunakannya menjadi produktif.
Argumen yang menyatakan bahwa bunga muncul sebagai konsekwensi yang tidak ter-elakkan dari selisih antara nilai barang kapital saat ini dengan nilainya di tahun yang akan datang, para pakar muslim merespon bahwa hal ini hanya menjelaskan hal-hal yang tidak terelakkan saja dan bukan pada tingkat keakuratan/kebenaran. Hal ini hanya menjelaskan mengapa peminjam berkewajiban untuk membayar bunga dan mengapa pihak yang meminjamkan menuntut pembayaran bunga ini, sementara sebenarnya mereka tidak menghiraukan dan tidak dapat memperkirakan dengan pasti perbedaan nilai barang antara saat sekarang dan masa yang akan datang, maka teori tentang bunga menjadi bersifat abstrak dan tidak realistis. Berdasarkan respon dan argumentasi di atas, para pakar muslim tetap mempertahankan pendapat bahwa ketika seseorang meminjamkan uang, walaupun dana tersebut digunakan untuk menghasilkan aset ataupun hutang melalui investasi dari uang tersebut, namun tetap tidak ada alasan yang bisa dibenarkan bahwa orang yang meminjamkan tersebut berhak menerima sesuatu imbalan dari pengembalian uangnya.
2.2.6 Keadilan sebagai Inti dari Tujuan Syariat Islam
Al-Qur’an dan Hadis menempatkan keadilan sebagai tujuan utama dalam syari’at Islam. Menurut Al-Qur’an, Q.S. al-Hadid (57):2517, menciptakan keadilan merupakan tujuan utama mengapa Allah SWT. mengirimkan rasul-rasul-Nya ke muka bumi. Al-Qur’an juga menempatkan keadilan sama dengan taqwa kepada Allah SWT (Q.S.(5):8)18. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya posisi keadilan di dalam syari’at Islam. Para ahli hukum didalam sejarah Islam telah sepakat bahwa keadilan maerupakan tujuan yang terpenting dari maqashid al-syari’ah.
Menegakkan keadilan memiliki dimensi yang luas di dalam Islam. Keadilan harus diwujudkan di seluruh aspek kehidupan manusia, baik di dalam berkeluarga, bermasyarakat/sosial, kegiatan ekonomi dan politik, maupun di dalam berinteraksi dengan hewan dan alam lingkungan hidupnya sekalipun. Dalam pandangan ahli ekonomi, prinsip keadilan menuntut penggunaan sumberdaya dengan cara yang baik dan bertujuan kepada perwujudan kebaikan dan kemuliaan seluruh umat manusia. Dengan menerapkan prinsip keadilan diharapkan tercapai tingkat pertumbuhan yang maksimal, meratanya distribusi pendapatan dan kesejateraan, serta terwujudnya stabilitas ekonomi. Tujuan ekonomi yang demikian disebut juga dengan tujuan yang bersifat kemanusiaan yang telah diakui oleh semua kelompok masyarakat dan merupakan hasil dari nilai-nilai moral yang dimiliki oleh semua agama. Pelarangan terhadap bunga bank merupakan salah satu strategi ekonomi Islam yang dibingkai dengan etika, moral dan akhlak yang terpuji dimaksud. Tampaknya hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa bukan hanya agama Islam yang menolak dan melarang pemberlakuan sistem bunga. Semua agama, seperti Yahudi, Kristen dan Hindu juga menolak kehadiran sistem bunga di dalam perekonomian umat manusia. Injil sebagai kitab suci agama
Kristen menyatakan bahwa antara riba dan bunga tidak ada perbedaannya, sama-sama haram,
dan orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi dengan sistem bunga termasuk ke dalam golongan orang-orang jahat1. Dalam kaitannya dengan konsep keadilan dalam Islam, meskipun pemberian bantuan dan peningkatan kualitas sosial ekonomi kaum miskin tergambar dalam maqaashid al-syari’ah, namun pembatasan terhadap pelarangan bunga untuk tujuan tertentu didak saja salah, tetapi juga tidak berada pada tempatnya. Islam melarang sistem bunga pada sistem keuangan dan perdagangan/usaha, dan berusaha lagi untuk mengorganisasi kembali sistem permodalan dan keuangan dalam bentuk bagi hasil (profit-loss-sharing). Sistem ini memungkinkan investor mendapatkan bagian dari hasil usahanya dan pengusaha/peminjam modal tidak maenanggung sendiri kerugian usaha dari faktor-faktor yang tidak mungkin dapat dihindari.
Jika keinginan untuk mewujudkan penggunaan sumberdaya dengan cara yang sesuai dengantujuan kemanusiaan yang universal, maka menjadi penting untuk mereorganisasikan kembali sistem perekonomian yang telah ada. Pengelolaan keuangan berdasarkan keadilan dan bagi hasil (profit-loss sharing) merupakan bagian yang esensial dari upaya mere-organisasi tersebut.
2.2.7. Prinsip dan Produk Bank Syariah
Secara umum terdapat dua bentuk kegiatan utama dalam operasional perbankan syariah, yaitu penghimpunan dana dan penyaluran dana. Tiap bentuk tersebut dapat diuraikan lagi berdasarkan prinsip-prinsip yang mendasarinya.
(1) Penghimpunan Dana
Sebagaimana pada bank konvensional, penghimpunan dana di bank umum syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan diposito, sedangkan BPRS hanya dapat melayani tabungan dan deposito. Namun demikian, mekanisme operasional penghimpunan dana ini harus disesuaikan dengan prinsip syari’ah. Prinsip operasional bank syariah yang telah diterapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat selama ini adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip Wadi’ah
Wadi’ah adalah usaha untuk memobilisasi dana dengan menggunkan prinsip titipan. Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah, yaitu wadi’ah amanah dan wadi’ah dhamanahWadi’ah amanah adalah harta atau barang titipan yang tidak boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan (safe deposit box), sedangkan wadi’ah dhamanah adalah harta atau barang titipan yang boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan. Dedengan demikian terdapat dua jenis cara penghimpunan dana berdasarkan prinsip wadi’ah bi yad al-dhamanah, yaitu giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah. Pada penerapan prinsip wadi’ah bi yad aldhamanah, bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin bahwa dana tersebut dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana. Namun demikian rekening ini tidak boleh mengalami saldo negatif (overdraft). Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana akan menjadi hak milik atau ditanggung oleh bank, sedangkan pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau menanggung kerugian.
Manfaat yang diperoleh pemilik dana adalah jaminan kaeamanan terhadap simpanannya serta fasilitas-fasilitas giro dan tabungan lainnya. Bank dapat memberikan bonus kepada pemilik dana damun tidak boleh menjanjikannya di muka, yaitu ketika akad. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
b. Prinsip Mudharabah
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana, prinsip mudharabah dibedakan menjadi dua, yaitumudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsipmudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam pembukaan rekening tabungan dan deposito, sehingga tedapat dua jenis dalam penghimpunan dana berdasarkan prinsip ini, yaitu tabungan mudharabah dan depositomudharabah.
Ada empat ketentuan yang harus dipatuhi dalam menerapkan prinsip mudharabah, baik yang berlaku untuk tabungan maupun deposito, yatu:
(1). Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberian keuntungan dan atau perhitungan pembagian keuntungan serta resiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana.
(2). Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
(3). Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati, namun tidak boleh mengalami saldo negatif (overdraft). Deposito yang diperpanjang setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis, maka tidak perlu dibuat akad baru.
(4). Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tabungan dn deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ahMudharabah muqayyadah merupakan jenis simpanan khusus (restricted investment) di mana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:
(1). Pemilik dana menetapkan syarat penyaluran dana. Untuk itu bank wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus ini.
(2). Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan buku simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening simpanan khusus supaya tidak bercampur dengan dana dari rekening lainnya. Dana khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
(3). Penyaluran Dana
Dalam penyaluran dana, bank syariah harus berpedoman kepada prinsip kehatihatian. Sehubungan dengan ini, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan penyaluaran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah. Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar terdapat empat kelompok prinsip operasional syari’ah, yaitu prinsip jual beli (bai’), sewa beli (ijarah), bagi hasil (syirkah) dan pembiayaan lainnya.
a. Prinsip Jual Beli (Bai’)
Prinsip jual beli meliputi murabahah, salam dan istishna’. Prinsip murabahah umumnya diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang investasi. Skim murabahah sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia kemudian meminta kepada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat barang diterima. Salam adalah pembelian barang untuk pengantaran (delivery) yang ditangguhkan dengan pembayaran di muka. Salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka produsen harus bertanggungjawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti dengan barang yang sesuai pesanan. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory). Istishna’ menyerupai salam, namun istishna’ pembayarannya dapat di muka, dicicil atau di belakang/kemudian. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiyaan manufactur, industri kecil dan konstruksi.
b. Prinsip Sewa Beli (Ijarah Wa Iqtina’ atau Ijarah muntahiyyah BittamlikIjarah wa iqtina’ atau ijarah muntahiyyah bittamlik adalah akad sewa menyewa suatu barang antara bank dan nasabah di mana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad. Dalam dunia usaha pola perjanjian ini dikenal dengan financial lease. Harga dan sewa beli ditetapkan bersama pada awal perjanjian.
c. Prinsip Bagi Hasil (syirkah)
Beberapa bentuk produk yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah musyarakah, mudharabah mutlaqah, danmudharabah muqayyadah. Pengaplikasian musyarakah dalam perbankan, umumnya untuk pembiayaan usaha di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Semua modal dicampur untuk dijadikan modal usaha, dan manajemennya pun dikelola bersama-sama.
Dalam pengimplementasian produk mudharabah muthlaqah, jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang tunai dan apabila modal diserahkan secara bertahap diperhitungkan dengan cara perhitungan dari pendapatan proyek (revennue sharing) dan dari perhitungan keuntungan proyek(profit sharing)
Karakteristik mudharabah muqayyadah pada dasarnya sama dengan persyaratan mudharabah mutlaqah, perbedaannya adalah pada penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh bank.
Secara ringkas di sini dapat dikemukakan produk-produk bank yang ditawarkan bank
syariah sebagai berikut:
NoPRODUK / JASAPRINSIP SYARIAH
01GiroIII. Wadi’ah Dhamanah
02TabunganWadi’ah Dhamanah dan Mudharabah
03DepositoMudharabah
04Simpanan KhususMudharabah Muqayyadah
05Dana TalanganQardh
06PenyertaanMusyarakah
07Sewa BeliIjarah Muntahiyyah bittamlik (Ijarah wa Iqtina’)
08Pembiayaan Modal KerjaMudharabah atau Murabahah
09Pembiayaan ProyekMudharabah atau Musyara
10Pembiayaan Sektor PertanianBai’ al-Salam
11Pembiayaan Untuk Akuisisi AsetIjarah Muntahiyyah bittamlik
12Pembiayaan EksportMudharabah, Musyarakah dan Murabahah
13Anjak PiutangHiwalah
14Letter Of Credit (L/C)Wakalah
15Garansi BankKafalah
16Inkaso TransferWakalah dan Hawalah
17Pinjaman SosialQardh al-Hasan
18Surat BerhargaMudharabah, Qardh, Bai’ al-Dayn
19IV. Save Deposit BoxWadi’ah Amanah
20Jual Beli ValasSharf
21PegadaianRahn
Disarikan dari Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 90-116
(3) Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadi’ah)
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip menghendaki. Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah) artinya tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan karena kalalaian penerima dalam memelihara barang titipan. Akan tetapi dalam aktivitas perekonomian modern penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idlekan aset tersebut tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya harus memenita izin dari penitip untuk kemudian mempergunakan asetnya dengan menjamin akan mengembalikannya secara utuh. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan titipan atau simpanan tersebut untuk tujuan: giro dan tabungan berjangka. Konsekuensi dari tangan penanggung ini (bank), semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank adalah penanggung seluruh kumungkinan kerugian. Sebagai imbalan penyimpan memperoleh jaminan keamanan terhadap asetnya juga fasilitas giro lainnya. Bank tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi merupakan kebijakan dari manajemen bank.
(4) Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)
Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akad utama: al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam.
Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
DAFTAR BACAAN
————,Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta. Tahun 1995 s/d Desember 2001.
Aunuddin. 1989. Analisis Data. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor.
Antonio Safii Muhammad, M.Sc. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Bank Indonesia, Jakarta, 2000.
Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan. Tazkia Institute. Jakarta
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah : Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. AlvaBet. Jakarta
Bank Indonesia. 2002. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta
Bangun, Pajung. 1999. Kebudayaan Batak dalam Koentjaraningrat 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Jambatan. Jakarta.
Ebrahim, M.Shahid dan Tan Kai Joo. Islamic Banking in Brunei Darussalam. International Jurnal of Social Economics. Vol 28/No.4/2001
Hamidi, Lutfi. 2003. Jejak-Jejak Ekonomi Syariah. Senayan Abadi Publishing. Jakarta
Hosmer, D.W. dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley & Sons, New York
Haroa, Sudin. dkk. 1994. Bank Patronage Factors of Muslim and Non-Muslim Customers.
International Journal of Bank Marketing. Vol 12 No.1
Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbitan Jambatan. Jakarta
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah. Pedoman Sistem Komputerisasi Pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Tehnik Bagi Hasil. Modul Pelatihan.
Metawa, Saad dan Mohammad Atmossawi. 1998. Banking Behaviour of Islamic Bank Customers: perspective abd implication. International Journal of bank Marketing Vol 16 No.7
Metwally. M.M, Prof. DR., Teori dan Model Ekonomi Islam, PT. Bankit Daya Insana, Jakarta, 1995
Naser ,Kamal; Ahmad Jamal; Khalid Al-Khatib. 1999. Islamic Bank: a study of Customer Satisfaction and Preferences in Jordan. International Journal of Bank Marketing Vol 17 No. 3
Naser, Kamal dan Luiz Montinho. 1997. Strategic Marketing Management: The Case of Islamic Banks. International Journal of Bank Marketing Vol. 15 No.6
Sjahdeini, S. Remy. 1999. Perbankan Islam: Kedudukan dan Peranannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Grafiti. Jakarta.
Siddiqi, M.N., “Rational of Islamic Bank”, International for Islamic Economic, Jeddah, 1981.
Suma, M Amin, SH,MA,MM,Prof,Dr,Drs, Menggali Akar Mengrai Serat Ekonomi dsn keuangan Islam,Kholam Publishing, Tanggerang, 2008.
Suma, M Amin, SH,MA,MM,Prof,Dr,Drs, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional,Kholam Publishing, Tanggerang, 2006.
Skha Consulting. 2001. Potensi Peran Bank Indonesia dalam Pengembangan Industri Perbankan Syariah Nasional. Jakarta

Sumber : http://mei-azzahra.com/2010/02/07/kajian-teoritis-perbankan-syariah/

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright Alam Perwira | Basic Template Created By : Alam Perwira and original template by Denzdii | Powered By : Blogger